Tampilkan postingan dengan label Cerita Rakyat dan Dongeng. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerita Rakyat dan Dongeng. Tampilkan semua postingan

Jumat, 10 Mei 2013

Cerita Rakyat Jambi : Putri Reno Pinang Masak

Pada zaman dahulu, di belakang Dusun Pasir Mayang, ada sebuah kerajaan yang bernama Limbungan. Kerajaan itu diperintah oleh seorang ratu Putri Reno Pinang Masak. Putri ini terkenal dengan kecantikannya yang menawan hati. Tak mengherankan banyak raja dan putra raja yang menghendaki mempersuntingnya. Namun tak seorang pun raja atau putra raja yang meminang yang diterimanya. Semua pinangan ditolaknya.

Disamping cantik, putri ini terkenal pula berbudi luhur, arif serta bijaksana. Kebijaksanaannya dipuji-puji oleh rakyatnya. Ia adil dan jujur, rakyatnya yang miskin mendapat jaminan hidup dalam hal makan dan minum. Yang kaya, diberi luang dan kesempatan untuk menambah dan mengendalikan kekayaannya. Golongan rakyatnya yang kaya ini kelak harus pula menjamin kelangsungan hidup bagi yang miskin. Dengan demikian terdapat suasana yang harmonis antara sesame anggota masyarakat negeri Limbungan.

Dalam menjalankan pemerintahannya, sang ratu dibantu oleh tiga orang huluibalang yang baginda percayai. Hulubalang yang pertama bernama Datuk Raja Penghulu, terkenal sebagai orang arif dan bijaksana yang kedua bernama Datuk Dengar Kitab, seorang hulubalang yang mempunyai keistimewaan dapat mengetahui kejadian-kejadian yang akan dating melalui sebuah kitab yang dimilikinya. Hulubalang yang ketiga ialah Datuk Mangun, bertugas sebagai panglima perang kerajaan.

Kecantikan Putri Reno Pinang terdengar pula sampai ke telinga raja Jawa. Lama-kelamaan raja negeri Jawa lalu mengirim utusan untuk melamar sang putri. Ternyata lamaran tersebut ditolak oleh Putri Reno Pinang Masak. Raja Jawa sangat tersinggung karena lamarannya ditolak dengan tegas. Timbullah kemudian tekad raja Jawa untuk bersumpah bagaimanapun akan mengambil Putri Reno Pinang Masak dengan cara kekerasan.

Putri Retno Pinang Masak tidak takut sama sekali akan ancaman raja negeri Jawa yang telah mabuk kepayang itu. Bahkan baginda ratu sangat gemas dan geram. Baginda memandang gelagat raja Jawa tadi sebagai yang akan merusak kedaulatan negertinya. Oleh sebab itu baginda memanggil ketiga hulubalang serta mengumpulkan rakyat negerinya. Bersama-sama dicarilah bagaimana cara untuk raja jawa yang mengancam akan menyerang negeri Limbungan. Mencari jalan yang sebaik-baiknya melalui pemikiran, musyawarah dan mufakat. Akhirnya didapatkan suatu cara yang telah disepakati bersama dalam perundingan tersebut. Negeri diberi berparit.


Di samping itu harus dipagar pula dengan bambu berduri. Bambu yang dahan dan rantingnya harus berduri. Maka dicarilah tumbuhan tersebut. Setelah dapat maka segera ditanam berlapis-lapis, sebagai pagar negeri untuk menghalangi supaya tentara Jawa jangan masuk. Pagar inilah nanti sebgagai benteng pertahanan. Negeri Limbungan sudah dilingkupi dengan pagar bamboo berduri. Untuk keluar masuk hanya ada sebuah gerbang. Di pintu masuk, ini telah menunggu Datuk. Mangun beserta anak buahnya.

Raja Jawa beserta tentaranya datang jalan satu-satunya untuk memasuki Limbungan adalah sebuah gerbang yang dijaga oleh hulubalang Datuk Mangun dan anak buahnya. Ke sanalah raja Jawa mengarahkan serangan. Terjadilah pertempuran yuang sengit. Ternyata tentara Jawa tak kuasa sedikit pun menembus pertahanan Datuk Mangun yang didapingi oleh prajurit-prajurit serta rakyat negeri Limbungan yang tangguh. Tentara Jawa perkasa mundur dengan menderita korban besar.

Melihat tentaranya gagal memasuki Limbungan dan menderita kekalahan besar, raja Jawa memanggil semua hulubalang dan mengumpulkan semua prajuritnya. Maka diadakan perundingan dicari akal melalui pikiran orang banyak. Maka dapatlah suatu akal tipu muslihat. Dikumpulkan semua uang ringgit logam. Uang logam ini dijadikan peluru yang akan ditembakkan ke setiap rumpun bambu yang berlapis-lapis tadi. Ditembakkan berulang-ulang, sepuas-puas hati tentara Jawa, sehingga uang ringgit logam itu beronggokan di celah pohon bamboo berduri tersebut. Kemudian raja Jawa beserta tentaranya pun pergilah kembali.




Dalam pada itu ada seorang penduduk negeri Limbungan tidak disengaja, bersua dengan onggok-onggokan uang ringgit logam itu sepanjang edaran pagar bamboo negeri. Melihat uang logam itu sangat banyak terniat di hatinya untuk memberitahukan hal tersebut kepada baginda ratu. Lalu diambilnya sebuah untuk diperlihatkan kepada sang ratu di istana.

"Dimana engkau dapat ringgit logam itu, Datuk?” Tanya baginda ratu penuh keheranan.

“Di rumpun-rumpun bamboo benteng pertahanan kita. Tuanku!” jawab pembawa ringgit logam itu agak tergagap. “Bertimbun banyaknya.”

“Baiklah!” kata sang ratu pula. “Aku yakin Datuk tidak berbohong. Mari kita lihat!”

Benar saja! Ratu menemukan uang ringgit logam bertumpukan di sela-sela rumpun bambU. Maka setelah dirundingkan dengan semua orang diputuskan untuk mengambil semua uang logam tersebut. Untuk memudahkan pengambilannya, pohon-pohon bambU itu pun ditebangi. Uang logam tersebut diangkut ke istana.

Pada saat itu pula ditebangi. Uang logam tersebut diangkut ke Istana. Pada saat itu pula raja Jawa bersama tentaranya datang menyerbu dengan tiba-tiba. Karena benteng pertahanan tak ada lagi pasukan negeri Jawa dengan mudah masuk negeri Limbungan. Tentara beserta rakyat Limbungan tidak dapat menahan serangan yang mendadak itu.

Putri Retno Pinang Masak sadar akan kesalahannya. Ia sangat menyesal akan kealpaannya. Dengan rasa masygul diam-diam pergilah baginda seorang diri meninggalkan negeri yang dicintainya.

Ternyata kemudian tahu jugalah rakyat bahwa ratunya sudah tidak ada lagi di istana. Negeri Limbungan menjadi gempar. Berusahalah rakyat mencari kemana mana. Ada yang mencari ke hulu, ada yang ke hilir, ada pula yang mencari ke darat dank e baruh (pinggir sungai). Bahkan ada yang mencari sampai ke tepi laut. Namun ratu mereka tak kunjung bersua.

Akan halnya ketiga hulubalangnya, Datuk Raja Penghulu, Datuk Dengar Kitab, serta Datuk Mangun bermufakat ketika itu untuk bersama-sama mencari ratu Putri Reno Pinang Masak. Mereka masuk hutan keluar hutan. Bila bertemu dengan seseorang mereka tak jemu bertanya. Namun yang dicari tak kunjung bertemu. Maka mereka lanjutkan pula perjalanan. Lurah diturun, bukit di daki. Semak-semak disinggahi kalau-kalau ada putrid Reno Pianang Masak, atau mayatnya. Ketiga hulubalang itu bertekad berpantang berbalik, pulang sebelum yang di cari bersua hidup atau mati. Kalau perlu nyawa mereka sebagai taruhannya.

Sementara itu seorang petani desa Tenaku sedang berada di rumahnya. Ia baru saja selesai bekerja menyiangi rumput hari baru tengah hari, petani itu akan beristirahat ke pondoknya. Menjelang ia sampai ke pondoknya ia sangat terkejut, di mukanya di udara yang cerah dilihatnya melayang-layang sepotong upih pinang. Kemudian upih tersebut jatuh tak berada jauh dari tempatnya berdiri. Ia sangat heran mengapa ada upih pinang di humanya. Kalau itu upih pinang yang ada di desanya, taklah mungkin sejauh itu, diterbangkan angina. Dalam keheranan, petani itu bergegas menuju ke tempat upih jatuh tadi. Sesampai di sana ia sangat terkejut. Dilihatnya sesosok tubuh wanita cantik tergeletak memucat yang dilihatnya itu tak dikenalnya. Ia cukup hapal semua penduduk desanya. Apalagi orang yang sudah dewasa seperti yang dilihatnya. Di baliknya sebentar. Memang wajah yang tak dikenalnya sama sekali. Maka diputuskannyalah untuk memberitahukan penduduk desanya.

Ternyata semua penduduk desa Tenaku sama dengan petani tersebut tak juga mengenal siapa gerangan orang yang meninggal secar aneh itu. Semua yang hadir menjadi gempar. Mereka saling berpandangan dan bertanya satu sama lain. Di saat demikian maka dipanggil seorang dukun.

Dukun telah datang. Ia segera membakart kemenyan. Setelah itu dibacanya jampi-jampi ramalan. Dalam waktu yang singkat dapatlah diketahuinya siapa gerangan mayat yang berbaring di huma itu.

“Jenazah yang kita temui ini “Katanya mengabarkan kepada orang banyak yang mengelilinginya.

“Jenazah yang melayang jatuh dari udara bagaikan upih pinang ini adalah jenazah Tuan Putri Reno Pinang Masak raja negeri Limbungan!”

Mendengar ramalan dukun tersebut semua orang yang hadir sangat terkejut. Suara bergumam berdengung bagai suara lebah terbang. Wajah-wajah yang keheranan segera berubah menjadi suram dan sedih. Terbayang kepada orang banyak itu betapa sengsaranya tuan baginda ratu negeri pada saat-saat terakhir hidupnya.

Pada saat itu juga diambil keputusan untuk memakamkan sang putri di huma di desa Tenaku itu. Sang ratu dimakamkan secara sederhana tanpa disaksikan rakyatnya. Rasa tanggung jawabnya yang besar terhadap rakyat dan negerinya sudah berakhir. Sampai sekarang makam di desa Tenaku tersebut dinamakan “Makam Upih Jatuh”.

Lama-kelamaan ketiga hulubalang yakni Datuk Raja Penghulu, Datuk Dengar Kitab, dan Datuk Mangun sampai pula ke tempat Putri Reno Pinang Masak dimakamkan. Setelah mereka ketahui bahwa itu adalah makam baginda ratu Puteri Reno Pinang Masak, tiba-tiba saja mereka jatuh pingsan dan terus meninggal. Ketiga hulubalang itu dimakamkan pula di sana di samping makam Puteri Reno Pinang Masak. Sampai sekarang makam keempat orang tersebut masih ada dan dikeramatkan orang pula.





Sumber


Lanjut baca yuk...

Kamis, 09 Mei 2013

Cerita Rakyat : Roro Mendut

Shakespeare punya karya masyhur Romeo-Juliet. Di bumi Timur Tengah juga ada kisah Layla-Majnun. Nah, Pati juga punya cerita rakyat –dan ini kisah nyata, yaitu Roro Mendut dan Panacitra. Saking melegendanya, penulis kawakan Putu Wijaya pernah mengangkat parodinya dalam sebuah cerpen yang berjudul Mendut (Kumpulan Cerpen Gres, Balai Pustaka, maaf, lupa tahun terbitnya, gak bawa bukunya).

Putu memang penulis idola saya. Namun sebenarnya saya menantikan buah tangan dari penulis besar Pramoedya Ananta Toer menuturkan kisah ini. Sayang, entah memang Pram tak pernah menulisnya, atau hingga kini karyanya banyak yang hilang, hingga sekarang dia tiada, saya tak menemukan karyanya tentang Mendut –mungkin juga koleksi buku Pram yang masih minim saya baca. Bisa kita bayangkan, gaya bahasanya yang menggugah sentimental, kisah rakyat jelata ini akan hidup di tangan Pram. Sayang, hal itu nampaknya tak pernah terjadi. Padahal dari tangannya kita menikmati Calon Arang, Arok-Dedes, dan Arus Balik, dan karya besar lainnya.

Bisa dibilang, kisah Mendut ini adalah kelanjutan dari apa yang diceritakan dalam Arus Balik Pram. Arus Balik hanya terhenti pada kemunduran Demak. Arus Balik belum menceritakan kelanjutan Pajang yang makin mundur ke pedalaman Mataram. Nah, ceritera Mendut ini bersetting masa Mataram di bawah Sultan Agung. Mendut di sini tiada kaitannya sama sekali dengan Candi Mendut yang menjadi bagian dari trilogi Candi Budha di Magelang (Mendut-Pawon-Borobudur).

Mendut adalah nama perempuan elok molek yang terlahir dari Desa Trembagi, Pati. Saya hingga kini belum menemukan tahun berapa, sebagai tarikh yang tepat dalam menjelaskan peristiwa ini. Tentu diperlukan studi historis yang lebih mendalam. Namun hal itu, dalam konteks ini, bisa agak dikesampingkan. Kita lakukan saja pendekatan ‘dongeng’ daripada pendekatan ‘sejarah’. Meskipun ini kisah nyata, rakyat lebih mengakrabinya sebagai hikayat atau dongeng. Namun, sebagai patokan, jika memang hingga kini diyakini Mendut hidup pada masa kekuasaan Sultan Agung, tentu konteksnya adalah dekade awal tahun 1600-an.

Mendut sejak kecil diasuh oleh Adipati Pati. Kadipaten Pati (dulu namanya Pesantenan, karena penghasil santan yang kesohor, dan dikenal juga dengan penghasil dawet –minuman khas Jawa yang menggunakan santan dan cendol) adalah sebuah kadipaten kecil yang masih belum bisa ditaklukkan oleh Mataram. Pram menyebutkan bahwa Pesantenan memang sempat jatuh di tangan Demak pada masa ekspedisi Trenggono (raja ketiga setelah Raden Patah dan Pati Unus alias Pangeran Sabrang Lor. Trenggono sendiri naik takhta setelah menyingkirkan Pangeran Sekar Sedo ing Lepen, yang dibunuh oleh anak Trenggono, Sunan Prawoto. Trenggono akhirnya tewas diracun oleh pemuda berusia sepuluh tahun yang menyamar sebagai pelayan minuman. Trenggono terbunuh dalam usaha penaklukan kerajaan di Jawa Timur). Trenggono memang getol mencaplok kerajaan-kerajaan kecil di sekitar Pantura atau pesisir.

Selepas keruntuhan Demak dan ditariknya kekuasaan ke pedalaman Pajang oleh Jaka Tingkir, mungkin saja nasib Pati kembali lepas dari kekuasaan kerajaan manapun. Saya bukan ahli sejarah, bisa dicek kepastiannya. Setelah itu, Pajang makin masuk ke pedalaman selatan dan menjadi Mataram.

Sultan Agung ketika menjabat raja Mataram, juga hendak menguasai kerajaan-kerajaan kecil yang masih berserak di pulau Jawa. Dari sudut pandang yang antikeraton, tindakan ini bisa dibilang hendak menguasai dan mempertahankan kekuasaan yang masih tersisa, mengingat penjajah Belanda makin meruyak di tanah Jawa. Dari sudut pandang prokeraton, tindakan ini diartikan sebagai usaha mempersatukan tanah Jawa demi mengusir penjajah Belanda. Kita tinggalkan saja debat ini. Saya sendiri tak tertarik dengan hal yang berbau keraton apalagi golongan ningrat. Yang jelas faktanya, Mataram hendak mencaplok Pati –sebagai salah satu kerajaan kecil di pesisir utara.

Politik yang dijalankan oleh Sultan Agung, jika usaha bersenjata tak bisa berjalan mulus, maka dijalankanlah usaha persaudaraan dengan perkawinan. Hal ini yang dia lakukan dengan mengawini putri dari Surabaya. Nah, usaha persahabatan inilah yang hendak dia lakukan. Diutuslah Tumenggung Wiraguna untuk menaklukkan Pati.

Setibanya rombongan Mataram di Pati dan bertemu dengan Adipati, Pati sepakat mengakui kekuasaan Mataram. Sebagai tanda taklukan, Adipati menyerahkan gadisnya kepada Tumenggung Wiraguna. Dipilihlah gadis asuhnya, Mendut. Diboyonglah Mendut ke Tlatah Mataram.

Padahal, Mendut sendiri sudah merajut cinta dengan seorang pemuda bernama Panacitra. Tak rela gadisnya beranjak ke negeri lain, Panacitra pun mengikuti jejaknya ke Mataram. Setibanya di Mataram, Panacitra menyamar jadi pekatik (pegawai yang merawat kuda prajurit dan raja). Lewat jalur itulah Panacitra dan Mendut bisa bertemu melepas rindu.

Mendut sendiri tak sudi bakal disunting oleh si tua Wiraguna. Dibiarkanlah beberapa waktu, agar Si Mendut tumbuh lebih dewasa. Mendut tak sudi hidup di lingkungan keraton. Dia pun diperbolehkan keluar dari lingkungan istana, asalkan, dia bisa mencari nafkah dengan tenaga sendiri.

Nah, Si Mendut pun menyanggupi tantangan ini, dengan menghidupi diri sendiri dengan berjualan rokok. Setiap pria, baik muda maupun tua, sangat tersihir oleh pesona kecantikan Mendut. Rokoknya laris manis. Apalagi, rokok bekas sedotan bibir Si Mendut. Akan terasa lebih manis dan sedap.

Akhirnya hubungan Mendut-Panacitra terendus juga oleh Wiraguna. Tak terima hadiah yang diberikan oleh Kadipaten Pati ini direnggut oleh seorang pemuda desa rendahan, seorang tumenggung pun bisa bermata gelap. Ditantanglah Panacitra duel maut oleh Wiraguna. Karena Panacitra hanyalah pemuda yang minim pengalaman tarungnya, dan Wiraguna adalah tumenggung yang sarat pengalaman, bisa ditebak hasil pertandingan yang tak seimbang ini.

Panacitra tewas dengan dada tertembus keris. Mendut pun meratap dan keluarlah sumpah dari mulutnya, bahwa Wiraguna, walau bagaimanapun, tak akan bisa memilikinya. Dicabutlah keris yang menancap dari tubuh kekasihnya, dan diakhirilah hidupnya sendiri dengan menghunus keris ke dadanya sendiri.

Mendut, seorang perempuan yang menggugat kemapanan kekuasaan patriarkis. Dia pun melawan dan membuktikan, perempuan tak akan sudi hanya sekedar menjadi hadiah tanda penaklukan suatu daerah atas daerah yang lain. Sayang, Mendut terlewat dari perhatian Pram, mengingat Pram sendiri berasal dari Blora, kota yang bersebelahan persis dengan Pati. Mendut, bukannya muluk, bisa kita sejajarkan dengan Kartini, Nyai Ontosoroh, Midah, Larasati, atau perempuan-perempuan kuat lainnya yang ditulis oleh Pram.

Kini, makamnya masih ramai dikujungi oleh peziarah. Terutama para pedagang rokok. Mereka percaya, agar dagangannya laku keras, mereka setidaknya menziarahi makam perempuan yang satu ini.



Lanjut baca yuk...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...